Sudahkah
keadilan tegak di negeri nusantara ini. inilah pertanyaan tak terjawab yang mungkin
banyak ditanyakan oleh seluruh penduduk di negeri kepulauan ini. Pertanyaan ini
tak terjawab bukan karena tidak ada yang menjawab, tak terjawab bukan pula
karena tidak ada jawaban untuk menjawabnya, tetapi pertanyaan ini tak terjawab
karena tertutup oleh jawaban lain yang mengalihkannya.
Keadilan
sosial yang konon dalam asas negara dijanjikan bagi seluruh rakyat negeri ini
seakan hanyalah sebuah coretan pinggir jalan yang diabaikan sendiri oleh
penulisnya.Keadilan yang banyak diucapkan dalam janji-janji manis pemilihan
umum dalam kenyataannya tidak lebih hanya seperti tawaran seorang pembohong
yang berdagang dan sedang mempromosikan kehebatan barang dagangannya.
Ketika
anak-anak kecil yang seharusnya berhak mengenyam pendidikan sebagai kebutuhan harus
berjemur di perempatan lampu lalu lintas mengharap beberapa keping koin untuk
membeli sesuap nasi. Ketika mereka berebut dengan sesama mereka seakan
mengadakan perlombaan untuk berebut botol-botol bekas air mineral tak bertuan
di lintasan kereta, yang setiap saat siap menyambar nyawa mereka. Akan tetapi,
di tempat lain para penguasa negeri yang telah bergelimang harta tak mau kalah
dengan berlomba untuk lebih memakmurkan diri mereka sendiri. Seperti inikah
arti sebuah keadilan ?
Ketika
para pemimpin negeri khatulistiwa ini bertamasya menuju kantornya dengan menggunakan
mobil-mobil mengkilap nan mewah tanpa memikirkan bahan bakarnya, sedangkan
masyarakat kasta menengah bawah harus memeras lebih banyak keringatnya sebagai
bahan bakar motor butut mereka. Seperti inikah arti sebuah keadilan ?
Seseorang
yang pernah membaca sejarah tentang kejayaan Islam di masa lampau, tentu sangat
merindukan masa-masa itu kembali terulang saat ini. Masa dimana keadilan
benar-benar ditegakkan langsung oleh pemimpin kaum muslimin. Masa disaat
seorang rakyat jelata bisa bertemu langsung dengan pemimpinnya tanpa melalui
perantara untuk mengadukan sebuah perkara.
Kita
ambil contoh Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu. Siapa yang tidak mengenalnya, termasuk
dari sepuluh orang yang dijanjikan dengan surga tak sekalipun membuatnya angkuh
dan sombong. Bahkan ketika mendapat amanah sebagai seorang khalifah, beliau tanpa
rasa malu dan gengsi mengangkat sendiri karung berisi bahan pokok untuk satu keluarga
yang sedang kelaparan. Ingatlah pada saat itu beliau adalah Amirul mukminin
bagi kaum muslimin yang kekuasaanya membentang di seluruh jazirah arab.
Tidakkah
para pemimpin negeri ini mencontoh Imam Ali bin Abu Thalib radhiyallahu
‘anhu yang dalam sebuah kisah dari Ahmad
mengeluarkan dari Abdullah bin Ruzain, dia berkata: "Aku pernah masuk ke
rumah Ali bin Abu Thalib pada hari Idul Adha. Dia menyuguhkan daging angsa
kepadaku. Aku berkata, "Semoga Allah melimpahkan kebaikan kepadamu. Karena
engkau bisa menyuguhkan makanan ini, berarti Allah memang telah melimpahkan
kebaikan kepadamu, " Dia berkata, "Wahai Ibnu Ruzain, aku pernah
mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak
diperkenankan harta Allah bagi seorang khalifah kecuali sebanyak dua takaran
saja, satu takaran yang dia makan bersama keluarganya, dan satu takaran lagi
yang harus dia berikan kepada orang-orang." Inilah Imam Ali bin Abu
Thalib yang juga sepupu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Masih
begitu banyak contoh suri tauladan tentang keadilan dari para pemimpin-pemimpin
umat Islam di masa lalu, yang mana sangatlah sulit dan tidak mungkin untuk menyamakannya
dengan para penguasa pada zaman ini. Sungguhlah benar sebuah perkataan bahwa
keadilan itu bukan sekedar janji dan ucapan tetapi keadilan itu adalah dengan
pengamalan dan pelaksanaan.
0 Komentar:
Posting Komentar